Minggu, 01 November 2009

JigSaw 2 KeLomPok 3


ASUHAN KEPERAWATAN HALUSINASI

 

A.      Pengertian

Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).

Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002).

Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).

Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).

Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).

Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya rangsang apapun (Maramis, 2005).

Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).

 

B.       Etiologi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

Faktor predisposisi

1)       Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami.

Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut.

a)      Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.

b)      Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.

c)      Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).

 

2)      Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.

 

3)      Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.

 

Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).

Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1)   Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

 

2)   Stress lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3)   Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

 

C.      Gejala Halusinasi

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:

1.      Bicara sendiri.

2.      Senyum sendiri.

3.      Ketawa sendiri.

4.      Menggerakkan bibir tanpa suara.

5.      Pergerakan mata yang cepat

6.      Respon verbal yang lambat

7.      Menarik diri dari orang lain.

8.      Berusaha untuk menghindari orang lain.

9.      Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.

10.  Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

11.  Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.

12.  Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.

13.  Sulit berhubungan dengan orang lain.

14.  Ekspresi muka tegang.

15.  Mudah tersinggung, jengkel dan marah.

16.  Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

17.  Tampak tremor dan berkeringat.

18.  Perilaku panik.

19.  Agitasi dan kataton.

20.  Curiga dan bermusuhan.

21.  Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.

22.  Ketakutan.

23.  Tidak dapat mengurus diri.

24.  Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

 

 

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:

1.         Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.

2.         Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.

3.         Gerakan mata abnormal.

4.         Respon verbal yang lambat.

5.         Diam.

6.         Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.

7.         Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.

8.         Penyempitan kemampuan konsenstrasi.

9.         Dipenuhi dengan pengalaman sensori.

10.     Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.

11.     Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya.

12.     Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.

13.     Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.

14.     Berkeringat banyak.

15.     Tremor.

16.     Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.

17.     Perilaku menyerang teror seperti panik.

18.     Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.

19.     Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi.

20.     Menarik diri atau katatonik.

21.     Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.

22.     Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

 

D.      Jenis-Jenis Halusinasi

Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis. Penjelasan secara detail mengenai karakteristik dari setiap jenis halusinasi.

Jenis Halusinasi

1.      Pendengaran

Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.

2.      Penglihatan (auditori visual)

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.

3.      Penghidu (auditori olfaktorio)

Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia. Struk akan meresepsi SSP sehingga timbul halusinasi.

4.      Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

5.      Perabaan

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

6.      Cenestetik

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine.

7.      Kinistetik

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

 

E.       Tahapan halusinasi

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:

Fase I     : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri. Dikenal fase comferting (nyaman).

Fase II   :              Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita. Dikenal dengan fase Condemning.

Fase III  :  Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain. Dikenal dengan fase Controlling.

Fase  IV   :           Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan. Dikenal dengan fase conquering.

 

F.       Rentang respon halusinasi.

Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon tersebut digambarkan pada gambar 2 di bawah ini.

1.      Rentang respon neurobiologi pada gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut:

a)      Pikiran logis : yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.

b)      Persepsi akurat : yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.

c)      Emosi konsisten : yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.

d)     Perilaku sesuai : perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang berlaku.

e)      Hubungan social harmonis : yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.

f)       Proses pikir kadang terganggu (ilusi) : yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.

g)      Emosi berlebihan atau kurang : yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau kurang.

h)      Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau budaya umum yang berlaku.

i)        Perilaku aneh atau tidak biasa : perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum yang berlaku.

j)        Menarik diri : yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.

k)      Isolasi social : menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.

 

G.      Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi beberapa faktor antara lain:

1.      Identitas klien dan penanggung

Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.

2.      Alasan masuk rumah sakit

Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

 

Faktor predisposisi

1). Faktor perkembangan terlambat

a). Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.

b). Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.

c ). Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.

     2). Faktor komunikasi dalam keluarga

a). Komunikasi peran ganda.

b). Tidak ada komunikasi.

c). Tidak ada kehangatan.

d). Komunikasi dengan emosi berlebihan.

e) . Komunikasi tertutup.

f). Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang tua.

 

3). Faktor sosial budaya

Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.

4). Faktor psikologis

Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.

5). Faktor biologis

Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.

6). Faktor genetik

Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.

 

Faktor presipitasi

Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:

1).Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

2).Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan abnormal).

3). Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.

 

Diagnosa Keperawatan

1.    Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.

Tujuan umum:

Tidak terjadi perilaku kekerasan yang diarahkan kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Tujuan khusus:

1: Klien dapat membina hubungan saling percaya Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam, mau duduk dekat perawat.

Intervensi:
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.

Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
2 Dorong klien mengungkapkan perasaannya.

Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien. 3 Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.

Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.

TUK 1

1. Adakan kontak sering dan singkat.
Rasional:
Menghindari waktu kosong yang dapat menyebabkan timbulnya halusinasi.
2.  Observasi segala perilaku klien verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
Rasional:
Halusinasi harus kenal terlebih dahulu agar intervensi efektif
3.  Terima halusinasi klien sebagai hal yang nyata bagi klien, tapi tidak nyata bagi perawat.
Rasional:
Meningkatkan realita klien dan rasa percaya klien.
4. Klien dapat menyebutkan situasi yg dapat menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi.
5.  Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan situasi.
Rasional:
Peran serta aktif klien membantu dalam melakukan intervensi keperawatan.
6. Diskusikan dengan klien faktor predisposisi terjadinya halusinasi.
Rasional :
Dengan diketahuinya faktor predisposisi membantu dalam mengontrol halusinasi.

TUK  2:
Klien dapat mengontrol halusinasi.
Klien dapat menyebutkan tindakan yang dapat dilakukan apabila halusinasinya timbul.
Intervensi:
1. Diskusikan dengan klien tentang tindakan yang dilakukan bila halusinasinya timbul.
Rasional:
Mengetahui tindakan yang dilakukan dalam mengontrol halusinasinya.
2.  Klien akan dapat menyebutkan cara memutuskan halusinasi yaitu dengan melawan suara itu dengan mengatakan tidak mau mendengar, lakukan kegiatan : menyapu/mengepel, minum obat secara teratur, dan lapor pada perawat pada saat timbul halusinasi.
3. Diskusikan dengan klien tentang cara memutuskan halusinasinya.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan klien tentang cara memutuskan halusinasi.
4. Dorong klien menyebutkan kembali cara memutuskan halusinasi.
Rasional:
hasil diskusi sebagai bukti dari perhatian klien atas apa yg dijelaskan.
5. Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien menyebutkan kembali cara memutuskan halusinasinya.
Rasional:
Meningkatkan harga diri klien.


TUK 3
Klien dapat memanfaatkan obat dalam mengontrol halusinanya.
Klien mau minum obat dengan teratur.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien tentang obat untuk mengontrol halusinasinya.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan klien tentang fungsi obat yang diminum agar klien mau minum obat secara teratur.


TUK 4:
Klien mendapat sistem pendukung keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
Klien mendapat sistem pendukung keluarga.
Intervensi:
1. Kaji kemampuan keluarga tentang tindakan yg dilakukan dalam merawat klien bila halusinasinya timbul.
Rasional :
Mengetahui tindakan yang dilakukan oleh keluarga dalam merawat klien.
2. Diskusikan juga dengan keluarga tentang cara merawat klien yaitu jangan biarkan klien menyendiri, selalu berinteraksi dengan klien, anjurkan kepada klien untuk rajin minum obat, setelah pulang kontrol 1 x dalam sebulan.
Rasional:
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien.

 

 

                                             DAFTAR PUSTAKA

 

Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Hawari, Dadang. (2001). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN

 

A.    Definisi Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993).

Tanda dan Gejala :

·         Muka merah

·         Pandangan tajam

·         Otot tegang

·         Nada suara tinggi

·         Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak

·         Memukul jika tidak senang

 

B.     Penyebab perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.

Hilangnya harga diri ; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.

Tanda dan gejala :

·       Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)

·       Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

·       Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

·       Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

·       Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

(Budiana Keliat, 1999)

 

C.     Akibat dari Perilaku kekerasan

Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :

·       Memperlihatkan permusuhan

·       Mendekati orang lain dengan ancaman

·       Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

·       Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan

·       Mempunyai rencana untuk melukai

 

Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan

 
 

Core Problem

 

Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah

(Budiana Keliat, 1999)

D.    Asuhan  Keperawatan

1.    Pengkajian

a)    Aspek biologis

     Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.

b)   Aspek emosional

     Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.

c)    Aspek intelektual

     Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.

d)   Aspek sosial

     Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.

e)    Aspek spiritual

     Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.

2.    Diagnosa Keperawatan

a.    Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan/ amuk.

1.    Data subjektif

Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya.

2.    Data objektif

Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.

b.    Perilaku kekerasan / amuk dengan gangguan harga diri: harga diri rendah.

1.    Data Subjektif :

§ Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.

§ Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.

§ Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

2.    Data Objektif

§ Mata merah, wajah agak merah.

§ Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.

§ Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.

§ Merusak dan melempar barang barang.

3.    Intervensi

Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan/ amuk

1.    Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya

2.    Tujuan Khusus:

1.    Klien dapat membina hubungan saling percaya.

Tindakan:

1.   Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.

2.   Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

3.   Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

4.   Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.

5.   Beri rasa aman dan sikap empati.

6.   Lakukan kontak singkat tapi sering.

2.    Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

Tindakan:

1.    Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.

2.    Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.

3.    Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.

3.    Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.

Tindakan :

1.    Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.

2.    Observasi tanda perilaku kekerasan.

3.    Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel / kesal yang dialami klien.

4.    Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

Tindakan:

1.    Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

2.    Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

3.    Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai

5.    Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

Tindakan:

1.    Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.

2.    Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.

3.    Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

6.    Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.

Tindakan :

1.    Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat

2.    Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.

3.    Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.

·       Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.

·       Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/ tersinggung.

·       Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara – cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.

·       Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.

7.    Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.

Tindakan:

1.    Bantu memilih cara yang paling tepat.

2.    Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.

3.    Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.

4.    Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.

5.    Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.

8.    Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan

Tindakan :

1.    Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga selama ini.

2.    Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.

3.    Jelaskan cara – cara merawat klien :

·       Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.

·       Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.

·       Membantu klien mengenal penyebab ia marah

9.    Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).

Tindakan:                                                                    

1.    Jelaskan jenis – jenis obat yang diminum klien pada klien dan keluarga.

2.    Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.

3.    Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).

4.    Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

5.    Anjurkan klien melaporkan pada perawat / dokter jika merasakan efek yang tidak menyenangkan.

6.    Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.

Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah

1.    Tujuan Umum :

Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal

2.    Tujuan khusus :

1.    Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat

Tindakan :

1.    Bina hubungan saling percaya,

-       Salam terapeutik

-       Perkenalan diri

-       Tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai.

-       Jelaskan tujuan pertemuan

-       Ciptakan lingkungan yang tenang

-       Buat kontrak yang jelas ( waktu, tempat dan topik pembicaraan ).

2.    Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya.

3.    Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.

4.    Katakan kepada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.

2.    Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

Tindakan :

1.    Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.

2.    Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif

3.    Utamakan memberi pujian yang realistis.

3.     Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Tindakan :

1.    Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit

2.    Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah.

4.    Klien dapat menetapkan/ merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.

Tindakan :

1.    Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan ( mandiri, bantuan sebagian, bantuan total ).

2.    Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.

3.    Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.

5.    Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya

Tindakan :

1.    Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.

2.    Beri pujian atas keberhasilan klien.

3.    Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

6.    Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Tindakan :

1.    Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.

2.    Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.

3.    Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

4.    Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

 

DAFTAR PUSTAKA

Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book, 1995

Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003


ASKEP HARGA DIRI RENDAH ( HDR )

 

A.    Definisi

Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan ( Townsend, 1998 ).

Menurut Schult & Videbeck ( 1998 ), gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung

Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perasaan negatif terhadap diri sendiri yang dapat diekspresikan secara langsung dan tak langsung.

Tanda dan gejala :

  • Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
  • Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
  • Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
  • Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
  • Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

( Budi Anna Keliat, 1999)

 

B.     Penyebab dari harga diri rendah

Salah satu penyebab dari harga diri rendah yaitu berduka disfungsional. Berduka disfungsional merupakan pemanjangan atau tidak sukses dalam menggunakan respon intelektual dan emosional oleh individu dalam melalui proses modifikasi konsep diri berdasarkan persepsi kehilangan.

 

Tanda dan gejala :

o    Rasa bersalah

o    Adanya penolakan

o    Marah, sedih dan menangis

o    Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas

o    Mengungkapkan tidak berdaya

 

C.    Akibat dari harga diri rendah

Harga diri rendah dapat beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).

Tanda dan gejala :

§ Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul

§ Menghindar dari orang lain (menyendiri)

§ Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat

§ Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk

§ Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas

§ Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap

§ Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.

(Budi Anna Keliat, 1998)

Pohon masalah

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

 
Isolasi sosial : menarik diri

Core Problem

Berduka disfungsional

 

D.      Asuhan Keperawatan
Pengkajian

Subyektif :
 - Merasa tidak mampu melakukan sesuatu
 - Mengkritik/menyalahkan diri sendiri
-  Pandangan hidup yang pesimis
-  Penolakan terhadap kemampuan diri

-   Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya

-   Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli

-   Mengungkapkan tidak bisa apa-apa

-   Mengungkapkan dirinya tidak berguna

-   Mengkritik diri sendiri

Obyektif :
-  produktivitas menurun
 - Tidak memperhatikan perawatan diri
-  Tidak menatap lawan bicara
-  Bicara lambat
-  Nada suara lemah

-   Merusak diri sendiri

-   Merusak orang lain

-   Menarik diri dari hubungan social

-   Tampak mudah tersinggung

-   Tidak mau makan dan tidak tidur

-   Perasaan malu

-   Tidak nyaman jika jadi pusat perhatian

 

Diagnosa Keperawatan

1.    Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

Tujuan untuk Pasien:
-  Dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yg dimiliki
-  Dapat menilai kemampuan yg dpt digunakan
 - Dapat memilih kegiatan sesuai kemampuan
-  Dapat melatih kegiatan yg dipilih
-  Dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatih

Tindakan Keperawatan

a)      Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien

b)      Membantu pasien dapat menilai kemampuan yg dapat digunakan

c)      Membantu pasien memilih/menetapkan

d)     kemampuan/kegiatan yang sesuai kemampuan

e)      Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih

f)       Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya dan menyusun rencana kegiatan.

g)      Berikan reward/reinforcement terhadap kegiatan yang dilakukan pasien sesuai rencana/jadwal kegiatan.

1.Mengidentifikasi aspek positif:

a)      Mendiskusikan aspek positif dan kemampuan pasien yang masih dimiliki.

b)      Beri pujian yg realistis

2.    Membantu menilai kemampuan yg dpt digunakan:

 

a)    Diskusi kemampuan pasien yg masih bisa digunakan saat ini

b)    Bantu pasien menyebutkan dan beri penguatan thd kemampuan pasien

c)     Respons kondusif dan menjadi pendengar yang aktif

3.    Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan yang sesuai dg kemampuan
Tindakan keperawatan :

a)    Mendiskusikan dengan pasien kegiatan yg dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan

b)   Bantu pasien menetapkan kegiatan yg dapat di lakukan (mandiri, bantuan minimal, bantuan penuh dari lingkungan terdekat pasien)

c)    Berikan contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan pasien

d)   Susun bersama pasien daftar kegiatan sehari-hari pasien.

4.    Melatih kegiatan pasien yg sudah dipilih:

a)    Mendiskusikan dan tetapkan urutan kegiatan yg akan dilatih

b)   Memperagakan kegiatan yg akan dilakukan pasien.

c)    Beri dukungan dan pujian yang realistic

5.    Membantu pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya dan menyusun rencana kegiatan

a)    Beri kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatih

b)   Beri pujian atas aktifitas/kegiatann yang dapat dilakukan pasien setiap hari.

c)    Tingkatkan kegiatan yang sesuai dengan tingkat toleransi

d)   perubahan setiap aktifitas yang telah dilakukan pasien

e)    Susun daftar aktifitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan keluarga.

f)    Berikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan kegiatan

g)   Yakinkan pasien bahwa keluarga mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya

 

Evaluasi
Pasien :

a)    Dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif dirinya

b)   Dapat menyusun rencana kegiatan/ aktivitas yang akan dilakukannya

c)    Dapat melakukan kegiatan sesuai rencananya

 

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI

 

A.  Pendahuluan

Bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawat daruratan psikiatri. Meskipun suicide adalah perilaku yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif pada depresi, penyalahgunaan NAPZA , skizofrenia, gangguan kepribadian( paranoid, borderline, antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental.

Ada 4 hal yang krusial yang perlu diperhatikan oleh perawat selaku tim kesehatan diantaranya adalah :

1.      Suicide merupakan perilaku yang bisa mematikan dalam seting rawat inap di rumah sakit jiwa,

2.      Factor – factor yang berhubungan dengan staf antara lain : kurang adekuatnya pengkajian pasien yang dilakukan oleh perawat, komunikasi staf yang lemah, kurangnya orientasi dan training dan tidak adekuatnya informasi tentang pasien.

3.      Pengkajian suicide seharusnya dilakukan secara kontinyu selama di rawat di rumah sakit baik saat masuk, pulang maupun setiap perubahan pengobatan atau treatmen lainnya.

4.      Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien serta kesadaran diri perawat terhadap cues perilaku pasien yang mendukung terjadinya resiko bunuh diri adalah hal yang penting dalam menurunkan angka suicide di rumah sakit. Oleh karena itu suicide pada pasien rawat inap merupakan masalah yang perlu penanganan yang cepat dan akurat.

 

B.  Apa penghalang dan penghambat dalam perawatan klien resiko bunuh diri

Beberapa hambatan dalam melakukan managemen klien dengan bunuh diri adalah pasien yang dirawat dalam waktu yang cukup singkat sehingga membuat klien kurang mampu mengungkapkan perasaannya tentang bunuh diri. Kurang detailnya tentang pengkajian resiko bunuh diri pada saat masuk dan banyak perawat kurang melakukan skrening akan resiko bunuh diri. Disamping itu 2 dari 3 orang yang melakukan suicide adalah diketahui oleh perawat dalam beberapa bulan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan intervensi yang adekuat. Lebih lanjut banyak perawat mungkin takut untuk menanyakan tentang masalah bunuh diri pada pasien atau bahkan tidak mengetahui bagaimana untuk menanyakan jika pasien memiliki pikiran untuk melakukan suicide.

 

C.  Pengertian bunuh diri

Rentang respon perlindungan diri ( self –protective) adalah :


Adatif<...........................................................................>Maladaptif

Self enhancement Growth promoting Indirect self- Self injury Suicide

risk taking destruktive behaviour

 

Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang d
iantaranya :

·       Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati

·       Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri,

·       Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yan dalam , bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .

·       Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.

·       Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan . walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.

·       Suicide. Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . hal ini telah didahului oleh beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang yang berhasil melakukan bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Suicide ini yakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.

D.  Penyebab Bunuh diri

1.    Faktor genetic dan teori biologi

Factor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.

2.    Teori sosiologi

Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang tidak terintegrasi pada kelompok social) , atruistik (Melakukan suicide untuk kebaikan masyarakat) dan anomic ( suicide karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).

3.    Teori psikologi

Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.

4.    Penyebab lain

 Adanya harapan untuk reuni dan fantasy.

 Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidakberdayaan

 Tangisan untuk minta bantuan

 Sebuah tindakan untuk menyelamatkan muka dan mencari kehidupan yang lebih baik

 

E.   Pengkajian resiko bunuh diri

Sebagai perawat perlu mempertimbangkan pasien memiliki resiko apabila menunjukkan perilaku sebagai berikut :

1.      Menyatakan pikiran, harapan dan perencanaan tentang bunuh diri

2.      Memiliki riwayat satu kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.

3.      Memilki keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri.

4.      Mengalami depresi, cemas dan perasaan putus asa.

5.      Memiliki ganguan jiwa kronik atau riwayat penyakit mental

6.      Mengalami penyalahunaan NAPZA terutama alcohol

7.      Menderita penyakit fisik yang prognosisnya kurang baik

8.      Menunjukkan impulsivitas dan agressif

9.      Sedang mengalami kehilangan yang cukup significant atau kehilangan yang bertubi-tubi dan secara bersamaan

10.  Mempunyai akses terkait metode untuk melakukan bunuh diri misal pistol, obat, racun.

11.  Merasa ambivalen tentang pengobatan dan tidak kooperatif dengan pengobatan

12.  Merasa kesepian dan kurangnya dukungan sosial.

 

Banyak instrument yang bisa dipakai untuk menentukan resiko klien melakukan bunuh diri diantaranya dengan SAD PERSONS

NO

SAD PERSONS

Keterangan

1

Sex (jenis kelamin)

Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering 3 kali dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh diri

2

Age ( umur)

Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun lebih.

3

Depression

35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami sindrome depresi.

4

Previous attempts (Percobaan sebelumnya)

65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah pernah melakukan percobaan sebelumnya

5

ETOH ( alkohol)

65 % orang yang suicide adalah orang menyalahnugunakan alkohol

6

Rational thinking Loss ( Kehilangan berpikir rasional)

Orang skizofrenia dan dementia lebih sering melakukan bunuh diri disbanding general populasi

7

Sosial support lacking ( Kurang dukungan social)

Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang bermakna serta dukungan spiritual keagaamaan

8

Organized plan ( perencanaan yang teroranisasi)

Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri merupakan resiko tinggi

9

No spouse ( Tidak memiliki pasangan)

Orang duda, janda, single adalah lebih rentang disbanding menikah

10

Sickness

Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi melakukan bunuh diri.

 

Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat perlu memahami petunjuk dalam melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga untuk mendapatkan data yang akurat. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :

1.    Tentukan tujuan secara jelas.

Dalam melakukan wawancara, perawat tidak melakukan diskusi secara acak, namun demikian perawat perlu melakukannya wawancara yang fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang berhubungan dengan bunuh diri.

2.    Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu diobservasi dari komunikasi non verbal.

Hal ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap kecemasan dan distress yang berat serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di hindari atau diabaikan.

3.    Kenali diri sendiri.

Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena hal ini akan mempengaruhi penilaian profesional.

4.    Jangan terlalu tergesa – gesa dalam melakukan wawancara. Hal ini perlu membangun hubungan terapeutik yang saling percaya antara perawat dank lien.

5.    Jangan membuat asumsi

Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu mempengaruhi emosional klien.

6.    Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian pribadi akan membuat kabur penilaian profesional.

Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :

1.    Riwayat masa lalu :

a.     Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri

b.    Riwayat keluarga terhadap bunuh diri

c.     Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia

d.    Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.

e.     Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial

f.     Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka

 

2.    Symptom yang menyertainya

a. Apakah klien mengalami :

·         Ide bunuh diri

·         Ancaman bunh diri

·         Percobaan bunuh diri

·         Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja

b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.

Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi diantaranya :

·         Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan

·         Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya.

·         Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk merencanakan dan mengagas akan suicide

·         Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses oleh klien.

 

Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :

·      Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik

·      Memilih tempat yang tenang dan menjaga privacy klien

·      Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan mendorong komunikasi terbuka.

·      Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata yang dimengerti klien

·      Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat pengobatannya

·      Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi

·      Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan

·      Peroleh riwayat penyakit fisik klien

 

F.   Diagnosa Keperawatan

      Resiko Bunuh diri

Pengertian : Resiko untuk mencederai diri yang mengancam kehidupan

NOC

      Impulse Control, Suicide Self-Restraint

Tujuan

      Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri

Indicator

  • Menyatakan harapannya untuk hidup
  • Menyatakan perasaan marah, kesepian dan keputusasaan secara asertif.
  • Mengidentifikasi orang lain sebagai sumber dukungan bila pikiran bunuh diri muncul.
  • Mengidentifikasi alaternatif mekanisme coping

NIC

Active Listening, Coping Enhancement, Suicide Prevention, Impulse Control Training, Behavior Management: Self-Harm, Hope Instillation, Contracting, Surveillance: Safety

 

 

 

G.  Aktivitas keperawatan secara umum :

1.   Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri, dengan cara :

·         Kaji tingkatan resiko yang di alami pasien : tinggi, sedang, rendah.

·         Kaji level Long-Term Risk yang meliputi : Lifestyle/ gaya hidup, dukungan social yang tersedia,  rencana tindakan yang bisa mengancam kehidupannya, koping mekanisme yang biasa digunakan.

2. Berikan lingkungan yang aman ( safety) berdasarkan tingkatan resiko , managemen untuk klien yang memiliki resiko tinggi;

·         Orang yang ingin suicide dalam kondisi akut seharusnya ditempatkan didekat ruang perawatan yang mudah di monitor oleh perawat.

·         Mengidentifikasi dan mengamankan benda – benda yang dapat membahayakan klien misalnya : pisau, gunting, tas plastic, kabel listrik, sabuk, hanger dan barang berbahaya lainnya.

·         Membuat kontrak baik lisan maupun tertulis dengan perawat untuk tidak melakukan tindakan yang mencederai diri Misalnya : ”Saya tidak akan mencederai diri saya selama di RS dan apabila muncul ide untuk mencederai diri akan bercerita terhadap perawat.”

·         Makanan seharusnya diberikan pada area yang mampu disupervisi dengan catatan :

   Yakinkan intake makanan dan cairan adekuat

   Gunakan piring plastik atau kardus bila memungkinkan.

   Cek dan yakinkan kalau semua barang yang digunakan pasien kembali pada tempatnya.

·         Ketika memberikan obat oral, cek dan yakinkan bahwa semua obat diminum.

·         Rancang anggota tim perawat untuk memonitor secara kontinyu.

·         Batasi orang dalam ruangan klien dan perlu adanya penurunan stimuli.

·         Instruksikan pengunjung untuk membantasi barang bawaan ( yakinkan untuk tidak memberikan makanan dalam tas plastic)

·         Pasien yang masih akut diharuskan untuk selalu memakai pakaian rumah sakit.

·         Melakukan seklusi dan restrain bagi pasien bila sangat diperlukan

·         Ketika pasien sedang diobservasi, seharusnya tidak menggunakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya. Perlu diidentifikasi keperawatan lintas budaya.

·         Individu yang memiliki resiko tinggi mencederai diri bahkan bunuh diri perlu adanya komunikasi oral dan tertulis pada semua staf.

 

3. Membantu meningkatkan harga diri klien

·         Tidak menghakimi dan empati

·         Mengidentifikasi aspek positif yang dimilikinya

·         Mendorong berpikir positip dan berinteraksi dengan orang lain

·         Berikan jadual aktivitas harian yang terencana untuk klien dengan control impuls yang rendah

·         Melakukan terapi kelompok dan terapi kognitif dan perilaku bila diindikasikan.

 

4. Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan social

·         Informasikan kepada keluarga dan saudara klien bahwa klien membutuhkan dukungan social yang adekuat

·         Bersama pasien menulis daftar dukungan sosial yang di punyai termasuk jejaring sosial yang bisa di akses.

·         Dorong klien untuk melakukan aktivitas social

 

5. Membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang positip.

·         Mendorong ekspresi marah dan bermusuhan secara asertif

·         Lakukan pembatasan pada ruminations tentang percobaan bunuh diri.

·         Bantu klien untuk mengetahui faktor predisposisi ‘ apa yang terjadi sebelum anda memiliki pikiran bunuh diri’

·         Memfasilitasi uji stress kehidupan dan mekanisme koping

·         Explorasi perilaku alternative

·         Gunakan modifikasi perilaku yang sesuai

·         Bantu klien untuk mengidentifikasi pola piker yang negative dan mengarahkan secara langsung untuk merubahnya yang rasional.

 

7. Initiate Health Teaching dan rujukan, jika diindikasikan

  • Memberikan pembelajaran yan menyiapkan orang mengatasi stress (relaxation, problem-solving skills).
  • Mengajari keluarga technique limit setting
  •  Mengajari keluarga ekspresi perasaan yang konstruktif
  •  Intruksikan keluarga dan orang lain untuk mengetahui peningkatan resiko : perubahan perilaku, komunikasi verbal dan nonverbal, menarik diri, tanda depresi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

CAPTAIN, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6(3), May/June 2008, p 46–53

Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB Saunder Company, Philadelphia.

Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed. Elsevier Mosby, Philadelphia

Shives, R (2008). Basic concept of psychiatric and Mental Health Nursing, Mosby, St Louis.

Kaplan and Saddock (2005). Comprehensive textbook of Psychiatry, Mosby, St Louis.

Carpenito, LJ (2008). Nursing diagnosis : Aplication to clinical practice, Mosby St Louis

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar