Sabtu, 14 November 2009

ASKEP NAPZA





ASUHAN KEPERAWATAN NAPZA













DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

1. Ginanjar Priyo Pamungkas
2. Gita Aprilia
3. Gunawan Wibisono
4. Handri Navianto
5. Hartoko
6. Heni Kurniawati
7. Herlin Widaswara
8. Hesti Trisnaningrum
9. Iin Pinandita
10. Ika Yuli Pristiani
11. Ika Yuni







STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2008/ 2009
Jl. Yos Sudarso No. 461, Telp./Fax. (0287) 472433, 473750
GOMBONG, 54412
ASUHAN KEPERAWATAN NAPZA


A. PENDAHULUAN
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).
Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan.
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000).
Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).
Tujuan
a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA.
b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien NAPZA.
c) Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA.

B. PENGERTIAN
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit.
Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya

C. PROSES TERJADINYA MASALAH
Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.
1) Rentang Respons Kimiawi
Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998).
2) Perilaku
3) Faktor penyebab.
Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:
a. Faktor biologic
a) Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol
b) Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman
b. Faktor psikologik
a) Tipe kepribadian ketergantungan
b) Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak
c) Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan
d) Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit
e) Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi
c. Faktor sosiokultural
a) Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat
b) Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana
c) Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural
d) Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan
4) Diagnosis medis
DSM-III-R (American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna zat. Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan intoksikasi, withdrawal, delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya. Gangguan psikoaktif pengguna zat mengakibatkan ketergantungan atau penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992).
Sedangkan DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas, depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50% penyalahgunaan NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri antara lain:
1) 26% mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania
2) 26% gangguan ansietas
3) 18% gangguan kepribadian antisocial
4) 7% skizofrenia
Mereka dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri.
Diagnosis medis dan keperawatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa keperawatan yang umumnya digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yang dibagi menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial dan spiritual. (Stuart dan Laraia, 1998).
Diagnosis NANDA(berhubungan dengan diagnosis keperawatan) yang utama adalah perubahan sensori persepsi, perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan proses keluarga (Stuart dan Sundeen, 1995).
Gangguan yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara. Pertama, diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat dikatagorikan juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan yang berhubungan dengan zat juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi atau withdrawal penggunaan zat sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental, dimana diagnosis tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.
Contoh: seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol, diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat. Katagori yang termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium, demensia, psikotik, mood, kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998).

D. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NAPZA
1. Pengkajian
Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi :
a. Perilaku
b. Faktor penyebab dan faktor pencetus
c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:
1) •penyangkalan (denial) terhadap masalah
2) •rasionalisasi
3) •memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya
4) •mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya
d. Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

2. Diagnosa Keperawatan
Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.
Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:
a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menahan sugesti
b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
c. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan seterusnya
Sedangkan masalah keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka fokus utama diagnosa keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah:
a. Koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan
b. Kurang aktivitas hiburan, dan seterusnya
Contoh pohon masalah:
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat dilihat pada lampiran. Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masalah klien.
Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992):
a. Program intervensi.
Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai dengan tingkat ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak. Untuk program di ruang rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi sewaktu-waktu dimana perawat berperan sebagai fasilitator bukan melakukan penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri; 2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan kembali bagi klien yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan keluarga terhadap klien.
b. Individu
Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti sesi-sesi yang diadakan perawat secara individu sesuai kebutuhan klien, tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien dalam membantu memulihkan ketergantungan akan zat.
1) Perubahan gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa digunakan. Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif menjadi koping yang konstruktif.
2) Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara mengidentifikasi hal-hal positif yang dimiliki klien dan bisa dikembangkan secara positif serta mengurangi hal-hal yang negatif dalam diri klien.
c. Keluarga
Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
d. Kelompok
1) Program twelve step : AA dan NA
2) Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien yang akan diikutkan dalam terapi tersebut.
3. Intervensi Keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan. Kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk
2) Tidak mengalami cedera fisik
Intervensi:
Mandiri
1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam.
2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur.
3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan
4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
Kolaborasi
1) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk
2) Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat.
Rasional:
1) Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.
2) Kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang.
3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien neuropati
4) Mencegah jatuh dengan cedera
5) Mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi tangan/mata.
6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.
4. Evaluasi
Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.
Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien.
Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.



















DAFTAR KEPUSTAKAAN

http://mentalnursingunpad.multiply.com/journal/item/7
http://mustikanurse.blogspot.com/2007/02/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom.html
Sub Literatur:
Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
(2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wilson, H.S., and Kneisl, C.R. (1992). Psychiatric nursing. California: Addison-Wesley.Wiguna, T. (2003).

Minggu, 08 November 2009

Tambahan JigSaw Minggu 1

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN KEHILANGAN




A. PENGERTIAN
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. (Lambert dan Lambert,1985,h.35).


Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.


Kehilangan merupakan suatu kondisi dimanan seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.


Terlepas dari penyebab kehilangan yang dialami setiap individu akan berespon terhadap situasi kehilangan, respon terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh kehilangan sebelumnya.


B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI KEHILANGAN
Tergantung ;
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu


C. KEHILANGAN DIBAGI DALAM 2 TIPE
1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
D. FAKTOR MENYEBAB KEHILANGAN:
1. Kehilangan orang yang dicintai / dihormat
Bersifat permanent ==> tidak dapat kontak personal.
2. Kehilangan kesejahteraan fisik, psikologik dan social.
3. Kehilangan objek diluar diri sendiri
4. Kehilangan karena perpisahan dengan lingkungan yang dikenal.


E. RENTANG RESPON KEHILANGAN


Denial-----> Anger-----> Bergaining------> Depresi------> Acceptance


1. Fase denial / Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.


2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d. Perilaku agresif (berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak becus ).


3. Fase bergaining / tawar- menawar.
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak saya”, “ kenapa harus terjadi pada saya ? “,“ seandainya saya hati-hati “.


4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dsb.
b. Gejala Fisik ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.


5. Fase acceptance ( Penerimaan )
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
Kesimpulan pada fase ini:
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, akhirnya saya harus operasi “.


F. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.


DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial : menarik diri
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis
4. Defisit perawatan diri


RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial : menarik diri
- Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan orang lain.
Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan harga diri klien.


2. Gangguan konsep diri; harga diri rendah
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.


2. Menyelidiki diri dengan cara :
~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya sendiri.


3. Mengevaluasi diri dengan cara :
~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif.


4. Membuat perencanaan yang realistik.
~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara menentukan perencanaan yang realistik.


5. Bertanggung jawab dalam bertindak.


~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah klien.


6. Mengobservasi tingkat depresi.
~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
R/ Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.


7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
R/ Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap orang yang hilang.


3. Defisit perawatan diri
Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
2. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
3. Klien dapat merawat kukunya sendiri.
Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
2. Menganjurkan klien untuk mandi.
R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan sendiri.


3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.
R/ Diharapkan klien mandiri.


4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
R/ Diharapkan klien mandiri.


5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.
R/ Diharapkan klien mandiri
R/ Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang lain


EVALUASI
Respon klien dinilai berdasarkan pertanyaan dibawah ini :
1. Apakah klien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara spontan ?
2. Apakah klien dapat menjelaskan makna kehilangan terhadap hidupnya ?
3. Apakah klien mempunyai system pendukung untuk mengungkapkan perasaannya ?
4. Apakah klien menunjukan tanda-tanda penerimaan terhadap kenyataan kehilangan ?
5. Apakah klien sudah dapat membina hubungan baru yang bermakna dengan orang lain ?
6. Apakah klien sudah mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat kehilangan ?


DAFTAR PUSTAKA


Marmis.Wf. 1994. Catatan ilmu kedokteran jiwa, Airlangga University Press, Surabaya.
Residen bagian Psikiatrik UCLA. 1997.Buku saku Psikiatrik, ECG, Jakarta.
Maslim. Rusdi. 1997.Diagnosis Gangguan Jiwa> Rujukan Ringkasan dari PPDGJ –III.Jakarta
Ingram.et.al.1995. Catatan kuliah Psikiatrik, ed 6.ECG : Jakarta
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3 ECG. Jakarta.


KEPERAWATAN JIWA
ANAK SECARA UMUM


PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Perawat mengkaji penguasaan anak terhadap tiap area keterampilan yang dibutuhkan anak untuk dapat menjadi seorang dewasa yang kompeten. Selain mengkaji keterampiian yang telah diuraikan tersebut, perawat juga perlu mengkaji data demografi, riwayat kesehatan terdahulu, kegiatan hidup anak sehari-hari, keadaan fisik, status mental, hubungan interpersonal, serta riwayat personal dan keluarga.
1. Data demografi
Meliputi nama, usia, tempat dan tanggal lahir anak, nama, pendidikan, alamat arang tua, serta data lain yang dianggap periu diketahui, riwayat kelahiran, alergi, penyakit dan pengobatan yang pernah diterima anak, juga perlu dikaji. Selain itu. aktivitas kehidupan sehari-hari anak meliputi keadaan gizi termasuk berat badan, jadwal makan dan minat terhadap makanan tertentu, tidur termasuk kebiasaan dan kualitas tidur, eliminasi meliputi kebiasaan dan masalah yang berkaitan dengan eliminasi, kecacatan dan keterbatasan lainnya.
2. Fisik
Perlu diperiksa. keadaan kulit, kepala, rambut. Mata, telinga, hidung, mulut, pernafasan, kardiovaskular, muskuloskeletal, dan neuratogis anak. Pemeriksaan fisik lengkap sangat diperlukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh gangguan fisik terhadap perilaku anak. Selain itu hasil pemeriksaan fisik berguna sebagai dasar dalam menentukan pengobatan yang diperlukan. Bahkan untuk mengetahui kemungkinan bekas penganiayaan yang pernah dialami anak.
3. Status mental
Pemeriksaan status mental bermanfaat untuk memberikan gambaran mengenai fungsi ego anak. Perawat membandingkan perilaku dengan tingkat fungsi ego anak dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, status mental anak perlu dkaji setiap waktu dengan suasana yang santai dan nyaman bagi anak.
Pemeriksaan atatus mental meliputi keadaan emosi, proses berpikir, dan isi pikiran; halusinasi dan persepsi; cara bicara dan orientasi; keinginan untuk bunuh diri atau membunuh.
Pengkajian terhadap hubungan interpesonal anak dilihat dalam hubungannya dengan anak sebayanya, yang penting untuk mengetahui kesesuaian perilaku dengan usia.
4. Riwayat personal dan keluarga
Meliputi faktor pencetus masalah, riwayat gejala, tumbuh kembang anak, biasanya dikumpulkan oleh tim kesehatan. Data ini sangat diperlukan untuk mengerti perilaku anak dan membantu menyusun tujuan asuhan keperawatan. Pengumpulan data keluarga merupakan bagian penting dari pengkajian melalui pengalihan fokus anak sebagai individu ke sistem keluarga. Tiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk mengidentifikasi siapa yang bermasalah dan apa yang telah dilakukan oleh keluarga untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Untuk menegakkan diagnosa keperawatan, data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa sebagai dasar perencanaan asuhan keperawatan selanjutnya.dalam keperawatan psikiatri dapat digunakan PND (Psychiatric Nursing Diagnosis), NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) dan DSM-III R (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders).
B. Perencanaan
Tujuan asuhan keperawatan disusun sesuai dengan kebutuhan anak, seperti modifikasi penyesuaian anak sekolah, dan perubahan lingkungan anak. Untuk anak yang dirawat di unit perawatan jiwa, tujuan umumnya adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi kebutuhan emosi anak dan kebutuhan untuk dihargai
2. Mengurangi ketegangan pada anak dan kebutuhan untuk berperilaku defensif
3. Membantu anak menjalin hubungan positif dengan orang lain
4. Membantu mengembangkan identitas diri anak
5. Memberikan anak kesempatan untuk menjalani kembali tahapan perkembangan terdahulu yang belum terselesaikan secara tuntas
6. Membantu anak berkomunikasi secara efektif
7. Mencegah anak untuk menyakiti baik dirinya maupun diri orang lain
8. Membantu anak memelihara kesehatan fisiknya
9. Meningkatkan uji coba realitas yang tepat


C. Implementasi
Berbagai bentuk terapi pada anak dan kelurga dapat diterapkan, yang terdiri dari :
1. Terapi bermain
Pada umumnya merupakan media yang tepat baai anak untuk konflik yang belum terselesaikan, selain juga berfungsi untuk :
a. Menguasai dan mengasimilasi kembali pengalaman lalu yang tidak dapat dikendalikan sebelumnya
b. Berkomunikasi dengan kebutuhan yang tidak disadari
c. Berkomunikasi dengan orang lain
d. Menggali dan mencoba belajar bagaimana berhubungan dengan diri sendiri, dunia luar, dan orang lain
e. Mencocokkkan tuntutan dan dorongan dari dalam diri dengan realitas
2. Terapi keluarga
Semua anggota keluarga perlu diikutsertakan dalam terapi keluarga. Orangtua perlu belajar secara bertahap tentang peran mereka dalam permasalahan yang dihadapi dan bertanggung jawab terhadap perubahan yang terjadi pada anak dan keluarga. Biasanya cukup sulit bagi keluarga untuk menyadari bahwa keadaan dalam keluarga turut menimbulkan gangguan pada anak. Oleh karena itu perawat perlu berhati-hati dalam meningkatkan kesadaran keluarga.
3. Terapi kelompok
Terapi kelompok dapat berupa suatu kelompok yang melakukan kegiatan atau berbicara. Terapi kelompok ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan uji realitas, mengendalikan impuls (dorongan internal), meningkatkan harga diri, memfasilitasi pertumbuhan, kematangan dan keterampilan sosial anak. Kelompok dengan lingkungan yang terapeutik memungkinkan anggotanya untuk menjalin hubungan dan pengalaman sosiat yang positif dalam suatu lingkungan yang terkendali.
4. Psikofarmakologi
Walaupun terapi obat bekum sepenuhnya diterima daim psikiatri anak, tetap bermanfaat untuk mengurangi gejala (hiperaktif, depresi, impulsif, dan ansietas) dan membantu agar pengobatan lain lebih efektif. Pemberian obat ini tetap diawasi oleh dokter dan menggunakan pedoman yang tepat.
5. Terapi individu
Ada berbagai terapi individu, terapi bermain psikoanalitis, psikoanalitis berdasarkan psikoterapi, dan terapi bermain pengalaman. Hubungan antara anak dengan therapist memberakan kesempatan apda anak untuk medapatkan pengalaman mengenai hubungan positif dengan orang dewasa dengan penuh kasih sayang dan uji realitas.


6. Pendidikan pada orang tua
Pendidikan terhadap orang tua merupkan hal yang penting untuk mencegah gangguan kesehatan jiwa anak, begitu pula untuk meningkatkan kembali penyembuhan setelah dirawat. Orang tua diajarkan tentang tahap tumbuh kembang anak, sehingga orang tua dapat mengetahui perilaku yang sesuai dengan usia anak. Keterarnpilan berkomunikasi juga meningkatkan pengertian dan empati antara orangtua dan anak. Teknik yang tepat dalam mengasuh anak juga diperlukan untuk mengembangkan disiplin diri anak. Hal-hal lain seperti psikodinamika keluarga, konsep kesehatan jiwa, dan penggunaan pengobatan, juga diajarkan.
7. Terapi lingkungan
Konsep terapi lingkungan dilandaskan pada kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang dialami anak. Lingkungan yang aman dan kegiatan yang teratur dan terprogram, memungkinkan anak untuk mencapai tugas terapeutik dari rencana penyembuhan dengan berfokus pada modifikasi perilaku. Program yang berfokus pada perilaku, memungkinkan staf keperawatan untuk memberikan umpan balik terus menerus kepada anak-anak tentang perilaku mereka sesuai jadwal kegiatan. Untuk perilaku yang baik, mereka menerima pujian, stiker atau nilai, tergantung pada tingkat perkembangannya. Sebaliknya, perilaku negatif tidak ditoleransi.




D. Evaluasi
Pada umumnya fasilitas penyembuhan bagi anak dengan gangguan jiwa mempunyai program yang dirancang untuk jangka waktu tertentu. Waktu perawatan jangka pendek biasanya berkisar antara 2 sampai 4 minggu, dan direncanakan untuk diagnosa dan evaluasi, intervensi krisis; serta perencanaan yang komprehensif.
Pada umumnya pengamatan perawat berfokus pada perubahan perilaku anak. Apakah anak menunjukkan kesadaran dan pengertian tentang dirinya sendiri melalui refleksi diri dan meningkatnya kemampuan untuk membuat keputusan secara rasional? Anak harus mulai beradaptasi dengan lingkungannya dan tidak impulsif. Aspek yang perlu dievaluasi antara lain:
a. Keefektifan intervensi penangguiangan perilaku
b. Kemampuan untuk berhubungan dengan teman sebaya, orang dewasa dan orang tua secara wajar
c. Kemampuan untuk melakukan asuhan mandiri
d. Kemampuan untuk menggunakan kegiatan program sebagai rekreasi dan proses belajar
e. Respons terhadap peraturan dan rutinitas
f. Status mental secara menyeluruh
g. Koordinasi dan rencana pemuiangan


DAFTAR PUSTAKA


Hamid, Achir, 1999. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa pada Anak dan Remaja. Jakarta: Widya Medika.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL


Pendahuluan


Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan akhirnya kematian.
Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk berhadapan dengan ancaman kematian. Ditengah keputusasaan, sering kali terdengar ”Kami sudah melakukan segalanya yang bisa dilakukan........”
Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis masih dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien Terminal untuk membantu pasien menjalani sisa hidupnya dalam keadaan seoptimal mungkin.


Konsep Kehilangan dan berduka
(sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya: Asuhan Keperawatan pada pasien kehilangan dan berduka)




Arti Kematian
Kematian terjadi bila:
- Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah terhenti secara pasti
- Penghentian ireversibel setiap fungsi otak telah terbukti
Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung terhenti.jantung seseorang telah terhenti.


Tanda-tanda Kematian
1. Dini:
• Pernafasan terhenti , penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi)
• Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba
• Kulit pucat
• Tonus otot menghilang dan relaksasi
• Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian
• Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang dengan penyiraman air)
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
• Lebam mayat (livor mortis)
• Kaku mayat (rigor mortis)
• Penuruna suhu tubuh (algor mortis)
• Pembusukan (dekomposisi)
• Adiposera (lilin mayat)
• Mumifikasi


Perawatan Setelah Kematian
• Menangani tubuh klien secepat mungkin untuk mencegah kerusakan jaringan atau perubahan bentuk tubuh (setelah kematian tubuh akan mengalami perubahan fisik)
• Beri kesempatan keluarga untuk melihat tubuh klien
• Luangkan waktu bersama keluarga untuk membantu mereka dala melewati masa berduka
• Siapkan kondisi ruangan sebelum keluarga melihat mayat klien
• Perawat menyiapkan tubuh klien dengan membuatnya tampak sealamiah dan senyaman mungkin




Dampak sakit Terminal
• Gangguan psikologis
• Gangguan somatis
• Gangguan seksual
• Gangguan sosial
• Gangguan dalam bidang pekerjaan


GEJALA DAN MASALAH YANG SERING DIJUMPAI PADA BERBAGAI SISTEM ORGAN
Sistem Gastrointestinal
- Anorexia
- Konstipasi
- Mulut kering dan bau
- Kandidiasis dan sariawan mulut
Sistem Genitourinaria
- Inkontinensia urin
Sistem Integumen
- Kulit kering/pecah-pecah
- Dekubitus
Sistem Neurologis :
- Kejang
Perubahan Status Mental
- Kecemasan
- Halusinasi
- Depresi


Asuhan Keperawatan pada Pasien Terminal
a. Pengkajian
• Faktor Predisposisi
• Faktor Presipitasi (Kehilangan bio, psiko, sosial, spiritual)
• Perilaku
• Mekanisme Koping


b. Diagnosa Keperawatan
1. Dukacita adaptif b.d kehilangan kepemilikan pribadi
2. Dukacita maladaptif b.d penyakit Terminal kronis
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis (respon dukacita yang tertahan)
4. Perubahan proses keluarga b.d transisi/krisis situasi
5. Isolasi sosial b.d sumber pribadi tidak adequat
6. Gangguan pola tidur b.d stress karena respon berduka
7. Distress spiritual b.d perpisahan dari ikatan keagamaan dan kultural


c. Intervensi
1. Akomodasi dukacita
2. Menerima realitas kehilangan
3. Mencapai kembali rasa harga-diri
4. Memperbarui aktivitas atau hubungan normal
5. Terpenuhinya kebutuhan fisiologis, perkembangan dan spiritual
6. Mencapai kembali dan mempertahankan kenyamanan
7. Mempertahankan kemandirian dalam aktivitas seharí-hari
8. Mempertahankan harapan
9. Mencapai kenyamanan spiritual
10. Meraih kelegaan akibat kesepian dan isolasi


d. Implementasi
1. Komunikasi terapeutik
a. Denial
Pembantahan ini menyangkut penyakit atau pronologis yang fatal. Pembantahan ini hanya diepaskan sedikit demi sedikit dalam suatu relasi kepercayaan dan pasien untuk diberi waktu untuk itu.






b. Anger
Dalam fase ini pasien memberontak melawan suratan nasip ,melawan Tuhan. Secara konkrit kemarahannya diarahkan kepada dokter, perawat atau keluarga terdekat. Yang penting ialah dokter atau perawat tidak menanggapi dengan mencap pasien sebagai pasien rewel.
c. Bergaining
Pasien mencoba meloloskan diri dari nasibnya atau sekurang-kurangnya menundanya. Dalam fase ini kita sering melihat pasien mencari kesembuhan dangan konsutasi pada dokter lain atau ia mencoba pengobatan alternatif
d. Depression
Jika akhir kehidupan harus diakui dengan tidak mungkin dihindarkan lagi, pasien menjadi sedih dan depresi. Konselor berusaha mendobrak kesedihan, terutama membuat pasien menyelesaikan hal-hal yang masih harus diurus atau memperbaiki kesalahan dahulu. Dengan cara ini pasien dapat meninggal dengan tenang dan damai.
e. Aceptence
Dalam fase ini konselor tidak boleh kecewa kalu fase terakhir tidak tercapai. Konselor harus mendampingi pasien dan tidak memaksa cara yang paling dianggap ideal
Orang yang paling dapat bertindak sebagai konseling kepada pasien terminal adalah dokter. Selain itu perawat seringkali juga paling dekat dengan pasien juga dapat memberikan konstribusi yang sangat berharga.
Hal penting yang harus dimiliki konselor adalah empati, yang penting pasien mendapat kepastian bahwa ia tidak ditinggalkan sendirian.
2. Pemeliharaan harga diri
3. Peningkatan kembalinya aktivitas kehidupan
4. Merawat klien menjelang ajal dan keluarganya


ASKEP JIWA DENGAN KRISIS


A. DEFINISI
Krisis adalah reaksi berlebihan terhadap situasi yang mengancam saat kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki klien dan respons kopingnya tidak adekuat untuk mempertahankan keseimbangan psikologis
Jenis krisis
• Krisis perkembangan terjadi sebagai respons terhadap transisi dari satu tahap maturasi ke tahap lain dalam siklus kehidupan (misalnya., beranjak dari manja ke dewasa).
• Krisis situasiona terjadi sebagai respons terhadap kejadian yang tiba-tiba dan tidak terduga dalam kehidupan seseorang. Kejadian tersebut biasanya berkaitan dengan pengalaman kehilangan (misalnya., kematian orang yang dicintai).
• Krisis adventisius terjadi sebagai respons terhadap trauma berat atau bencana alam. Krisis ini dapat memengaruhi individu, masyarakat, bahkan negara.
Intervensi krisis
adalah metode pemberian bantuan terhadap mereka yang tertimpa krisis, di mana masalah yang membutuhkan penanganan yang cepat dapat segera diselesaikan dan keseimbangan psikis yang dipulihkan.
Pertimbangan Umum
1. krisis terjadi pada semua individu pada satu saat atau saat yang lain.
2. Krisis tidak selalu bersifat patologis; krisis dapat menjadi stimulus pertumbuhan dan pembelajaran.
3. Krisis sangat terbatas dalam hal waktu dan biasanya teratasi dengan satu atau lain cara dalam periode yang singkat (4 sampai 6 minggu).
Penyelesaian krisis dapat dikatakan berhasil bila fungsi kembali pulih atau ditingkatkan melalui pembelajaran baru. Penyelesaian krisis dinyatakan gagal bila fungsi tidak kembali pulih ke tingkat sebelum krisis, dan individu mengalami penurunan tingkat fungsional.
4. Persepsi individu terhadap masalah yang dihadapi dapat menentukan krisis. Setiap individu memiliki respons yang unik terhadap masalah yang dialaminya.
5. Faktor penyeimbang merupakan hal yang penting dalam memprediksi hasil dari respons individu terhadap krisis. Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai prediktor hasil yang baik (Aguilera, 1998).
- Persepsi terhadap kejadian pencetus bersifat realistis bukan terdistorsi.
- Dukungan situasional (misalnya., keluarga, teman) tersedia bagi individu tersebut.
- Mekanisme koping yang mengurangi ansietas.
6. Urutan perkembangan krisis
– Periode prakrisis: individu memiliki keseimbangan emosional.
– Periode krisis: individu memiliki pengalaman subjektif berupa kekecewaan, gagal melakukan mekanisme koping yang biasa, dan mengalami berbagai gejala.
– Periode pascakritis: resolusi krisis
Krisis terjadi melalui empat fase :
Fase I : Ansietas meningkat sehingga muncul stimulus individu untuk
menggunakan koping yang biasa dipakai.
Fase II : Ansietas lebih meningkat karena koping yang digunakan gagal.
Fase III : Individu berusaha mencari koping baru, memerlukan bantuan orang lain.
Fase IV : Terjadi ansietas berat / panik yang menunjukkan adanya disorganisasi psikologis.








B. Gejala Umum Individu yang Mengalami Krisis


Gejala Fisik:
Keluhan somatik (mis., sakit kepala, gastrointestinal, rasa sakit) Gangguan nafsu makan (mis., peningkatan atau penurunan berat badan yang signifikan)
Gangguan tidur (mis., insomnia, mimpi buruk) Gelisah; sering menangis; iritabilitas
Gejala Kognitif
Konfusi sulit berkonsentrasi Pikiran yang kejar mengejar Ketidakmampuan mengambil keputusan
Gejala Perilaku
Disorganisasi Impulsif ledakan kemarahan Sulit menjalankan tanggung jawab peran yang biasa Menarik diri dari interaksi sosial
Gejala Emosional
- Ansietas;
- marah,
- merasa bersalah
- Sedih;
- depresi Paranoid;
- curiga
- Putus asa; tidak berdaya


Faktor Pencetus Terjadinya Krisis :
1. Kehilangan :
- Kehilangan orang yang penting
- Perceraian
- Pekerjaan
2. Transisi :
- Pindah rumah
- Lulus sekolah
- Perkawinan
- Melahirkan
3. Tantangan :
- Promosi
- Perubahan karir
Kualitas dan Maturitas Ego dinilai berdasarkan ( G. Caplan 1961) :
1. Kemampuan seseorang untuk menahan stress dan ansietas serta mempertahankan keseimbangan.
2. Kemampuan mengenal kenyataan yang dihadapi serta memecahkan problem.
3. Kemampuan untuk mengatasi problem serta mempertahankan keseimbangan social.


C. FAKTOR PENGIMBANG ( Balancing Factory )
Dalam penyelesaian suatu krisis harus dipertimbangkan beberapa faktor pengimbang yaitu :
1) Persepsi individu terhadap kejadian
a) Arti kejadian tersebut pada individu
b)Pengaruh kejadian terhadap masa depan individu
c) Pandangan realistic & tidak realistic terhadap kejadian
2) Situasi yang mendorong / dukungan situasi
- Ada orang / lembaga yang dapat mendorong individu
3) Mekanisme koping yang dimiliki oleh individu


D. TIPE – TIPE KRISIS
1. Krisis Maturasi
Perkembangan kepribadian merupakan suatu rentang yang setiap saat tahap
mempunyai tugas dan masalah yang harus diselesaikan untuk menuju kematangan pribadi individu. Keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan masalahnya tiap tahap dipengaruhi kemampuan individu mengatasi stress yang terjadi dalam kehidupannya. Krisis maturasi terjadi dalam satu periode transisi masa perkembangan yang dapat mengganggu keseimbangan psikologis, seperti pada masa pubertas, masa perkawinan, menjadi orang tua, menopause, dan usia lanjut. Krisis maturasi memerlukan perubahan peran yang dipengaruhi oleh peran yang memadai, sumber – sumber interpersonal, dan tingkat penerimaan orang lain terhadap peran baru.


2. Krisis Situasi
Krisis situasi terjadi apabila keseimbangan psikologis terganggu akibat dari suatu kejadian yang spesifik, seperti : kehilangan pekerjaan, kehamilan yang tidak diinginkan atau kehamilan diluar nikah, penyakit akut, kehilangan orang yang dicintai, kegagalan disekolah.
3. Krisis Malapetaka ( Krisis Sosial )
Krisis ini disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak diharapkan serta
menyebabkan kehilangan ganda dan sejumlah perubahan di lingkungan seperti : gunung meletus, kebakaran dan banjir. Krisis ini tidak dialami oleh setiap orang seperti halnya pada krisis maturasi.


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KRISIS
A. PENGKAJIAN
1. Peristiwa pencetus, termasuk kebutuhan yang tercantum oleh kejadian dan gejala yang timbul.
a) Kehilangan orang yang dicintai, baik karena kematian maupun karena perpisahan.
b) Kehilangan biopsikososial seperti : kehilangan salah satu bagian tubuh karena operasi, sakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran social, kehilangan kemampuan melihat dan sebagainya.
c) Kehilangan milik pribadi misalnya : kehilangan harta benda, kehilangan kewarganegaran, rumah kena gusur.
d) Ancaman kehilangan misalnya anggota keluarga yang sakit, perselisihan yang hebat dengan pasangan hidup.
e) Ancaman – ancaman lain yang dapat diidentifikasi termasuk semua ancaman terhadap pemenuhan kebutuhan.
2. Mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian
Persepsi terhadap kejadian yang menimbulkan krisis, termasuk pokok – pokok pikiran dan ingatan yang berkaitan dengan kejadian tersebut.
a) Apa arti makna kejadian terhadap individu
b) Pengaruh kejadian terhadap masa depan
c) Apakah individu memandang kejadian tersebut secara realistis
d) Dengan siapa tinggal, apakah tinggal sendiri, dengan keluarga, dengan teman.
e) Apakah punya teman tempat mengeluh
f) Apakah bisa menceritakan masalah yang dihadapi bersama keluarga
g) Apakah ada orang atau lembaga yang dapat memberikan bantuan
h) Apakah mempunyai keterampilan menggantikan fungsi orang yang hilang
i) Perasaan diasingkan oleh lingkungan
j) Kadang – kadang menunjukkan gejala somatic
Data yang dikumpulkan berkaitan dengan koping individu tak efektif, sbb :
1. Mengungkapkan tentang kesulitan dengan stress kehidupan.
2. Perasaan tidak berdaya, kebingungan, putus asa.
3. Perasaan diasingkan oleh lingkungan.
4. Mengungkapkan ketidakmampuan mengatasi masalah atau meminta bantuan.
5. Mengungkapkan ketidakpastian terhadap pilihan – pilihan.
6. Mengungkapkan kurangnya dukungan dari orang yang berarti.
7. Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan.
8. Perasaan khawatir, ansietas.
9. Perubahan dalam partisipasi social.
10. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
11. Tampak pasif, ekspresi wajah tegang.
12. Perhatian menurun.
Pada krisis malapetaka perilaku individu dapat diidentifikasi berdasarkan fase respon terhadap masalah musibah yang dialami.


FASE
1.Dampak Emosional
2.Pemberani (heroic)
3.Bulan madu (honeymoon)
4.Kekecewaan
5.Rekonstruksi dan Reorganisasi
RESPON
1.Fase ini sudah termasuk kejadian itu sendiri dengan karakteristik sebagai berikut : syok, panic, takut yang berlebihan, ketidakmampuan mengambil keputusan dan menilai realitas serta mungkin terjadi perilaku merusak diri.
2.Terjadi suatu semangat kerjasama yang tinggi antara teman, tetangga, dan tim kedaruratan kegiatan yang konstruktif saat itu dapat mengatasi ansietas dan depresi. Akan tetapi aktifitas yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan keletihan.
3.Fase ini mulai terlihat pada satu minggu sampai beberapa bulan setelah terjadi malapetaka. Kebutuhan bantuan orang lain berupa uang, sumber daya, serta dukungan dari berbagai pihak. Perkumpulan akan membantu memberikan masyarakat baru masalah psikologis dan masalah perilaku mungkin terselubung.
4.Fase ini berakhir dalam 2 bulan s/d 1 tahun. Pada saat ini individu merasa sangat kecewa, timbul kebencian, frustasi dan perasaan marah. Korban sering membanding – bandingkan keadaan tetangganya dengan dirinya, dan mulai tumbuh rasa benci atau sikap bermusuhan terhadap orang lain.
5. Individu mulai menyadari bahwa ia harus menghadapi dan mengatasi masalhnya. Mereka mulai membangun rumah, bisnis dan lingkungannya. Fase ini akan berakhir dalam beberapa tahun setelah terjadi musibah.


B. PERENCANAAN
Dinamika yang mendasari krisis ditetapkan alternative penyelesaian, langkah – langkah untuk mencapai penyelesaian masalah seperti : menentukan lingkungan pendukung dan memperkuat mekanisme koping.
C. TUJUAN
1. Membantu pasien agar dapat berfungsi lagi seperti sebelum mengalami krisis.
2. Meningkatkan fungsi pasien seperti dari sebelum terjadi krisis (bila mungkin)
3. Mencegah terjadinya dampak serius dari krisis misalnya bunuh diri.


D. TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan yang utama dapat dibagi menjadi 4 tingkatan dari urutan yang paling dangkal sampai paling dalam, yaitu :
1) Manipulasi lingkungan
Ini adalah intervensi dengan merubah secara langsung lingkungan fisik individu atau situasi interpersonalnya, untuk memisahkan individu dengan stressor yang menyebabkan krisis.
2) Dukungan umum (general support)
Tindakan ini dilakukan dengan membuat pasien merasa bahwa perawat ada disampingnya dan siap untuk membantu, sikap perawat yang hangat, menerima, empati, serta penuh perhatian merupakan dukungan bagi pasien.
3) Pendekatan genetic (genetic approach)
Tindakan ini digunakan untuk sejumlah besar individu yang mempunyai resiko tinggi, sesegera mungkin. Tindakan ini dilakukan dengan metode spesifik untuk individu – individu yang menghadapi tipe krisis dan kombinasi krisis atau jika ada resiko bunh diri / membunuh orang lain.
4) Pendekatan individual (individual approach)
Tindakan ini meliputi penentuan diagnose, dan terapi terhadap masalah spesifik pada pasien tertentu. Pendekatan individual ini efektif untuk semua tipe krisis dan kombinasi krisis atau jika ada resiko bunuh diri/membunuh orang lain.


E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Koping individual yang tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang lain yang dicintai, yang dimanifestasikan dengan menangis, perasaan tidak berharga dan bersalah.
TUJUAN
Pasien dapat mengungkapkan perasaan secara bebas.
INTERVENSI
1. Membina hubungan saling percaya dengan lebih banyak memakai komunikasi non verbal.
2. Mengizinkan pasien untuk menangis.
3. Menunjukkan sikap empati.
4. Menyediakan kertas dan alat tulis jika pasien belum mau berbicara.
5. Mengatakan kepada pasien bahwa perawat dapat mengerti apabila dia belum siap untuk membicarakan perasaannya dan mungkin
pasien merasa bahwa nanti perawat akan mendengarkan jika dia sudah bersedia berbicara.
6. Membantu pasien menggali perasaan serta gejala – gejala yang berkaitan dengan perasaan kehilangan.


2. Perubahan proses interaksi keluarga berhubungan dengan anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit, ditandai dengan perasaan khawatir, takut, dan bersalah.
TUJUAN
Keluarga dapat mengungkapkan perasaannya kepada perawat atau orang lain.
INTERVENSI
1. Melakukan pendekatan kepada anggota keluarga dengan sikap yang hangat, empati dan memberi dukungan.
2. Menanyakan kepada keluarga tentang penyakit yang diderita oleh anggota keluarganya, seperti timbulnya penyakit,beban yang dirasakan, akibat yang diduga timbul karena penyakit yang didertita oleh anggota keluarga tersebut.
3. Menanyakan tentang perilaku keluarga yang sakit.
4. Menanyakan tentang sikap keluarga secara keseluruhan dalam menghadapi keluarga yang sakit.
5. Mendiskusikan dengan keluarga apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi perasan cemas, takut, dan rasa bersalah.


F. EVALUASI
Beberapa hal yang dievaluasi antara lain :
1. Dapatkah individu menjalankan fungsinya kembali seperti sebelum krisis terjadi ?
2. Sudah ditemukan kebutuhan utama yang dirasakan tercantum oleh kejadian yang menjadi factor pencetus ?
3. Apakah perilaku maladaptif atau symptom yang ditunjukkan telah berkurang ?
4. Apakah mekanisme koping yang adaptif sudah berfungsi kembali ?
5. Apakah individu telah mempunyai pendukung sebagai tempat ia bertumpu/berpegang ?
6. Pengalaman apa yang diperoleh oleh individu yang mungkin dapat membantunya dalam menghadapi keadaan krisis dikemudian hari ?


DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Pelayanan Medik, DEPKES RI. 1994. Pedoman Perawatan Psikiatrik. Jakarta
Niven, Neil. 2000. Psikologi Kesehatan. Jakarta. EGC.
Maramis, W.E. 1980. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga University Press.


KONSEP DASAR KESEHATAN & KEPERAWATAN JIWA




A. PENGERTIAN
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.


Kesehatan jiwa meliputi
1. Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
2. Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
3. Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.


Beberapa pengertian manusia:
1. Individu yang holistik: terdiri dari jasmani dan ‘rohani’.
2. Terdiri dari komponen jasmani, akal, jiwa dan qalbu (ruh)
3. Struktur jiwa manusia terdiri dari id (insting-prinsip kepuasan), ego (kesadaran realitas-prinsip realitas), super ego/ moralitas-prinsip moralitas (Teori Freud)


B. PRINSIP-PRINSIP KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
1. Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan jiwa : yang kompeten).
2. Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien).
3. Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
4. Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa).
5. Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa).
6. Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa).
7. Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa).
8. Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa).
9. Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa).
10. Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
11. Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar professional).


C. PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
Menangani klien yang memiliki masalah sikap, perasaan dan konflik

Pencegahan primer

Penanganan multidisiplin

Spesialisasi keperawatan jiwa


DULU :
Pasien Gangguan Jiwa dianggap sampah, memalukan dipasung


SEKARANG :
1. Meningkatkan Iptek
2. Pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa meningkat
3. Perlu pemahaman tentang human right
4. Penting meningkatkan mutu pelayanan dan perlindungan konsumen.


D. KONSEPTUAL MODEL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
Tabel 1
Model View of behavioral deviation Therapeutic process Roles of a patient & therapist
Psychoanalytical


(freud, Erickson) Ego tidak mampu mengontrol ansietas, konflik tidak selesai Asosiasi bebas & analisa mimpi


Transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu Klien: mengungkapkan semua pikiran & mimpi


Terapist : menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien
Interpersonal


(Sullivan, peplau) Ansietas timbul & dialami secara interpersonal, basic fear is fear of rejection Build feeling security


Trusting relationship & interpersonal satisfaction Patient: share anxieties


Therapist : use empathy & relationship
Social


(caplan,szasz) Social & environmental factors create stress, which cause anxiety &symptom Environment manipulation & social support Pasien: menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat


Terapist: menggali system social klien
Existensial


(Ellis, Rogers) Individu gagal menemukan dan menerima diri sendiri Experience in relationship, conducted in group


Encouraged to accept self & control behavior Klien: berperan serta dalam pengalaman yang berarti untuk mempelajari diri


Terapist: memperluas kesadaran diri klien
Supportive Therapy


(Wermon,Rockland) Faktor biopsikososial & respon maladaptive saat ini Menguatkan respon koping adaptif Klien: terlibat dalam identifikasi coping


Terapist: hubungan yang hangta dan empatik
Medical


(Meyer,Kreaplin) Combination from physiological, genetic, environmental & social Pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik & teknik interpersonal Klien: menjalani prosedur diagnostic & terapi jangka panjang


Terapist : Therapy, Repport effects,Diagnose illness, Therapeutic Approach


Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:


1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).


Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.


Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.


Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.


Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).


2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.


Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.


Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.


3. Social ( Caplan, Szasz)
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental factors create stress, which cause anxiety and symptom).


Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial)


Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.


4. Existensial ( Ellis, Rogers)
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya
Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control behavior).


Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui feed back, kritik, saran atau reward & punishment.


5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.


Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.


Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.


6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.


E. PERAN PERAWAT KESEHATAN JIWA
1. Pengkajian yg mempertimbangkan budaya
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
3. Berperan serta dlm pengelolaan kasus
4. Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit mental - penyuluhan dan konseling
5. Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
6. Memberikan pedoman pelayana kesehatan


F. ASUHAN YANG KOMPETEN BAGI PERAWAT JIWA ( COMPETENT OF CARING )
1. Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.
2. Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga.
3. Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasikan, mengkaji, negosiasi, koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.
4. Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental, termasuk pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang paling tepat.
5. Meningkatkan dan memelihara kesehatanmental serta mengatasi pengaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
6. Memberikan askep pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
7. Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.


DAFTAR PUSTAKA


Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep,Iyus.2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama.